Kamis, 28 April 2011

Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara bagi Siswa SMPN 3 Tarakan Kalimantan Timur

A. Judul Penelitian
Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara bagi Siswa SMPN 3 Tarakan Kalimantan Timur
oleh Yones P
B. Bidang Kajian
Penelitian ini meliputi Bidang Kajian sebagai berikut:
1 Keterampilan Berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.
2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.
C. Pendahuluan
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara.
Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP, khususnya keterampilan berbicara, belum seperti yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2004:9).
Sementara itu, hasil observasi empirik di lapangan juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keterampilan berbicara siswa SMP berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif.
Demikian juga keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil observasi, hanya 20% (8 siswa) dari 40 siswa yang dinilai sudah terampil berbicara dalam situasi formal di depan kelas. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalau ada tokoh masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, pada umumnya belum memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa secara baik dan benar. Akibatnya, siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan situasi tutur.
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa SMP. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.
Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000).
Jika kondisi pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin keterampilan berbicara di kalangan siswa SMP akan terus berada pada aras yang rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat, menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa klas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan Timur, dalam berbicara, yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan
membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.
Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.
Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif.
Melalui prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif.
Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, para siswa SMP akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Yang tidak kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
D. Perumusan dan Pemecahan Masalah
1.Perumusan Masalah
1.1 Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP?
1.2 Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP?
2. Pemecahan Masalah
3. Tujuan Penelitian
3.1 untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP;
  1. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.
4. Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1 Para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, khususnya bagi siswa SMP;
4.2 Keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan, Kalimantan Timur, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;
4..3 Para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.
E. Kajian Teori dan Pustaka
Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP.
I.1 Keterampilan berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).
Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti
  1. Menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan
  2. Membuat surat lamaran pekerjaan
  3. Berbicara di depan umum atau berdiskusi
  4. Berpikir kritis dan kreatif dalam membaca
  5. Membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturan-aturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan:
  1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
  2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik
dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
  1. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
  2. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
  3. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan
(6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:
  1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis;
  2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;
  3. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
  4. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
  5. menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
  1. menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen- kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek:
(1) mendengarkan;
(2) berbicara;
(3) membaca; dan
(4) menulis.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.
Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara
2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan menyampaikan pengumuman
2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif
2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu:
(1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif; dan
(2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk:
  1. berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan;
  2. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara;
  1. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
  2. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara
menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otototot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga
dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik pembicara.
Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.
I.2 Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang
kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).
Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.
Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan
emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.
Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif,
dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang
tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4).
Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas:
  1. kealamiahan bahasa,
  1. peranan anak-anak dalam berkomunikasi,
  2. tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan
  3. ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru.
Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja. Dari berbagai penelitian tentang pengajaran bahasa disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa anak, khususnya keterampilan berbicara, dikembangkan melalui tiga cara, yaitu:
(1) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam variasi yang luas;
(2) Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input dari ujaran orang lain; dan
(3) anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986).
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian pengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran bahasa perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau menulis yang sebenarnya).
Pembelajaran kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri:
  1. makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk;
  2. konteks itu penting, bukan item bahasa;
  3. belajar bahasa itu belajar berkomunikasi;
  4. target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi;
  5. kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan;
  6. kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45).
Penggunaan pendekatan paragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga dilandasi oleh semangat pembelajaran kontruktivistik yang memiliki ciri-ciri:
perilaku dibangun atas kesadaran diri;
  1. keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman;
  2. hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik;
  3. seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya;
  4. pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata;
  5. siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran;
  6. pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete);
  7. siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi;
  8. hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber;
  9. pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:21-22).
Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga didasari oleh prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis.
Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Ciri lain yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yaitu:
  1. berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud; dan
  2. berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks (contex) (Rustono 1999:20). Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar apabila diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, kapan diucapkan, dan lain-lain (Lubis 1993:57).
Menurut Alwi et al. (1998:421), konteks terdiri dari unsur-unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks, antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman, dan sebagainya.
Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) (melalui Rustono 1999:21), faktor-faktor itu berjumlah delapan, yaitu:
  1. latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur;
  1. participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain;
  2. end atau tujuan;
  3. act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur;
  4. key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya;
  1. instrument, yaitu alat elalui telepon atau bersemuka;
  2. norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian. Di dalam novel, konteks tuturan tampak pada dialog antartokoh yang memenuhi ciri-ciri konteks sebagaimana dikemukakan oleh Hymes (1968).
Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis atau fenomena semantis dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan.
Menurut Leech (1983:13-15), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban. Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.
Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Hal ini berarti tidak mungkin ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Di dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresi untuk
mencapai suatu tujuan.
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan berbicara di SMP dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara sesuai dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi masalah atau refleksi awal terhadap rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Berdasarkan refleksi awal ditemukan penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran yang tidak mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata atau terlepas dari konteks dan situasi tuturan. Akibatnya, proses pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang diduga mampu membawa siswa ke dalam situasi penggunaan bahasa secara nyata sehingga siswa memperoleh manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi seharihari. Berdasarkan penggunaan pendekatan pragmatik yang ditawarkan sebagai solusi, dirumuskan masalah yang akan diteliti, yaitu:
  1. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP; dan
  2. Apakah penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP.
Selanjutnya, dirumuskan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
  1. untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara bagi siswa SMP; dan
  2. untuk memaparkan hasil keterampilan berbicara siswa SMP setelah pendekatan pragmatik digunakan dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia.
Berdasarkan rumusan tujuan, dilakukan kajian teori sehingga pendekatan yang ditawarkan sebagai solusi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP.
Dari hasil kajian teori dirumuskan hipotesis tindakan, yaitu penggunaan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP. Berdasarkan rumusan hipotesis tindakan, dilakukan perencanaan tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa SMP klas VII-A SMPN Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dengan melibatkan seorang kolaborator untuk melakukan observasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan dan observasi, dilakukan analisis data yang diperoleh dari hasil keterampilan berbicara siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Data tersebut dibandingkan dengan indikator keberhasilan penggunaan pendekatan pragmatik, yaitu 70% (28 siswa) dari 40 siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur terampil berbicara berdasarkan aspek kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata. Bersama kolaborator, peneliti melakukan refleksi terhadap hasil analisis data. Jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, dilakukan refleksi untuk memperbaiki langkah-langkah yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya.
Langkah selanjutnya adalah menyusun replanning (rencana tindakan) untuk siklus II berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan bersama kolaborator. Pada siklus II, peneliti melakukan tindakan sesuai dengan replanning yang telah disusun dengan melibatkan kolaborator untuk mengamati efektivitas pelaksanaan tindakan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap data keterampilan berbicara
siswa klas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur dibandingkan dengan indikator keberhasilan untuk direfleksi bersama kolaborator. Jika hasilnya belum signifikan, dilakukan replanning untuk siklus III. Jika penggunaan pendekatan pragmatik sudah menunjukkan hasil yang signifikan dengan indikator
keberhasilan, tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Ini artinya, penggunaan pendekatan pragmatik dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa SMP seperti yang telah dirumuskan dalam hipotesis tindakan.
F.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian adalah SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-A SMPN 3 Tarakan yang terdiri atas 40 siswa, dengan rincian 18 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan.
F.2 Pemecahan Masalah
Seperti telah peneliti kemukakan bahwa masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat keterampilan berbicara, khususnya keterampilan siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur, dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan refleksi awal, siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur yang dinilai sudah mampu menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif baru sekitar 20% (8 siswa) dari 40 siswa. Data ini masih jauh dari standar ketuntasan belajar minimal secara nasional, yaitu 75%.
Materi pembelajaran berseumber dari standar isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs seperti pada tabel 7.1 berikut ini. Tabel 7.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menceritakan
Pengalaman yang Paling Mengesankan dengan Menggunakan Pilihan Kata dan Kalimat Efektif
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Berbicara
2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan berbicara dan menyampaikan pengumuman
2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
Masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan pragmatik melalui enam langkah, antara lain sebagai berikut:
7.2.1 Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.
7.2.2 Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.3 Siswa mencatat konteks tuturan, yaitu latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur.
7.2.4 Siswa mencatat tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur berdasarkan pengalaman yang akan diceritakan.
7.2.5 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan verbal berdasarkan hal-hal yang telah dicatat sebelumnya. Bentuk tindakan verbal berupa tindak tutur yang dihasilkan oleh alat ucap, berupa kata-kata dan kalimat.
7.2.6 Siswa bertindak tutur melalui wujud tindakan nonverbal untuk memperjelas tindakan verbal yang telah dilakukan. Tindakan nonverbal berupa tindak tutur yang dihasilkan melalui kontak mata, mimik, gerak tangan, atau gerak anggota badan yang lain. Secara garis besar, alur penggunaan pendekatan pragmatik yang digunakan untuk memecahkan masalah rendahnya tingkat keterampilan siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur.
Melalui alur penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai konteks dan situasi tutur. Artinya, pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan dalam berbicara sangat ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang telah ditentukan oleh siswa. Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memilih dan menentukan pengalaman yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya memberikan rambu-rambu sebagai pedoman bagi siswa dalam berbicara.
F.3 Rencana Tindakan
Rencana tindakan yang akan dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas VII-A SMP Negeri 3 Tarakan Kalimantan Timur dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan pilihan kata dan kalimat yang efektif, antara lain sebagai berikut.
F.3.1
Guru menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kelas VII semester I seperti yang tercantum dalam Standar Isi (lampiran Permendiknas No. 22/2006). Dalam silabus dicantumkan nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, dan standar kompetensi), kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan belajar, indikator, penilaian (teknik, bentuk, dan contoh instrumen), alokasi waktu, dan sumber/media belajar.
F.3.2
Guru mengembangkan silabus Menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memuat komponen: nama sekolah, identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas/semester, komponen, aspek, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu), tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian dan pedoman penilaian.
F.3.3
Guru melaksanakan tindakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada tahap ini, peneliti melibatkan kolaborator untuk mengamati pelaksanaan tindakan.
F.3.4
Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam berbicara mengenai pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
F.3.5
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes awal untuk mengetahui efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai belum memberikan hasil yang signifikan, kolaborator memberikan masukan dan bersama-sama dengan peneliti melakukan langkah-langkah perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
F.3.6
Peneliti melakukan replanning untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil refleksi bersama kolaborator.
F.3.7
Peneliti melaksananakan tindakan pada siklus II sesuai dengan rencana tindakan yang telah disusun.
F.3.8
Peneliti menganalisis data hasil keterampilan siswa dalam menceritakan pengalaman mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.
F.3.9
Hasil analisis data dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui efektiktivitas penggunaan pendekatan pragmatik. Langkah selanjutnya adalah melakukan refleksi berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator. Jika penggunaan pendekatan pragmatik dinilai sudah memberikan hasil yang signifikan sesuai dengan indikator keberhasilan, penelitian dinyatakan selesai dan tinggal melakukan tindakan pemantapan kepada siswa (subjek penelitian). Namun, jika hasil analisis data belum menunjukkan hasil yang signifikan, peneliti kembali melakukan refleksi bersama kolaborator untuk merencanakan tindakan perbaikan (replanning) yang akan dilaksanakan pada siklus berikutnya.
F.4 Tahap Pelaksanaan
Tahap-tahap yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan terinci sebagai berikut.
F.4.1 Tahap Persiapan Tindakan
Pada tahap persiapan tindakan, peneliti yang sekaligus sebagai guru menyiapkan silabus, RPP, instrumen, sumber belajar, dan media belajar yang digunakan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tindakan.
F.4.2 Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan, peneliti melaksanakan tindakan sesuai rencana yang tersusun dalam RPP. Secara garis besar, tindakan yang dilaksanakan pada setiap siklus sesuai dengan yang tersusun dalam RPP antara lain sebagai berikut.
F.4.2.1 Tindakan Awal
F.4.2.1.1
Apersepsi: peneliti mengaitkan materi pembelajaran tentang dengan pengalaman siswa.
F.4.2.1.2
Motivasi: peneliti memberikan motivasi kepada siswa agar gemar menceritakan pengalaman yang mengesankan kepada orang lain.
F..4.2.2Tindakan Inti
F.4.2.2.1
Siswa menyimak contoh cerita pengalaman yang mengesankan yang disampaikan oleh peneliti.
F..4.2.2.2
Siswa melakukan tanya jawab dengan guru dan teman sekelas untuk menentukan langkah-langkah menceritakan pengalaman mengesankan berdasarkan contoh cerita yang disimak.
F..4.2.2.3
Siswa memilih dan mencatat pengalaman mengesankan yang ingin diceritakan.
F..4.2.2.4
Siswa mencatat identitas penutur dan mitra tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan.